Sebagian siswa dan sekolah mulai agak senang dengan rencana ditiadakannya Ujian Nasional (UN) berdasarkan keputusan Mahkamah Agung. Maklum, UN merupakan salah satu pangkal stres.
Namun Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas bersama Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) berkeras tetap menggelar UN. Mereka terus mematangkan ujian nasional (UN) meski putusan MA seputar kasasi penolakan ujian itu masih menimbulkan perdebatan. Bahkan, naskah soal UN sudah jadi dan tinggal dicetak.
Kepala Balitbang Depdiknas Mansyur Ramli mengatakan, putusan MA tentang UN tidak berpengaruh terhadap penyusunan naskah soal. Soal-soal tersebut sudah selesai disusun. Penyusunan naskah soal dilakukan guru, dosen perguruan tinggi (PT), dan pakar pendidikan. Setelah soal disusun, Balitbang akan menyerahkan kepada BSNP untuk diuji-cobakan.
Kemudian, soft copy soal bakal diserahkan ke perguruan tinggi untuk dicetak. “Kami sedang berkordinasi dengan majelis rektor perguruan tinggi negeri (MRPTN). Sebab, tahun ini yang menangani pencetakan hingga pendistribusian soal adalah perguruan tinggi,” terangnya, kemarin. Dengan selesainya penyusunan soal, kata Mansyuri, tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakan ujian tersebut.
Mansyur menjelaskan, soal UN 2010 standar dengan soal 2009. Tingkat kesulitan soal UN hampir sama dengan tahun ini. Hal itu disesuaikan dengan kemampuan siswa saat ini. Sebab, berdasarkan studi penelitian yang dilakukan Balitbang, sarana prasarana dan mutu pendidik saat ini belum mampu mendorong kemampuan peserta didik untuk menerima tingkat kesulitan soal yang lebih tinggi.
“Memang sudah ada peningkatan guru dan sarana dan prasarana, namun kami masih sesuaikan dengan kemampuan siswa,” jelasnya. Tingkat kesulitan soal bakal dinaikan untuk UN 2011. Karena itu, pihaknya berharap siswa dapat menjawab soal UN. Sebab, bobot soal telah disesuaikan dengan standar minimal pendidikan. “Artinya, soal itu bisa dijawab oleh siswa di daerah terpencil sekalipun. Ibarat lompat tinggi, kami pasang meteran. Bagi siswa sekolah unggulan, bisa lompat lebih tinggi. Demikian pula siswa sekolah biasa juga bisa melalui meteran tersebut,” paparnya.
Karena tingkat kesulitan soal sama dengan tahun lalu, Depdiknas berharap target kelulusan UN meningkat. Apalagi, standar nilai minimal rata-rata UN 2010 sama dengan tahun ini. Atau, tidak ada kenaikan. Yaitu, 5,5. Tahun lalu, tingkat kelulusan peserta didik untuk jenjang SMA mencapai 90 persen. Paling tidak, kata Mansyur, target kelulusan bisa mencapai 92 persen. Demikian pula target kelulusan untuk jenjang SMP juga dinaikkan dua persen.
Balitbang mengimbau agar seluruh provinsi segera mengirim data peserta UN ke Depdiknas. Sebab, jumlah tersebut bakal disesuaikan dengan pencetakan naskah soal. Januari 2010, jumlah pasti peserta UN harus selesai. Dia menambahkan, anggaran penyelenggaraan UN juga sudah disiapkan. Menurutnya, anggaran UN 2010 tidak jauh beda dengan tahun ini. Yaitu, sekitar Rp500 miliar. Anggaran sebesar itu untuk UN (SMP dan SMA) dan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Biaya itu akan digunakan untuk persiapan ujian, penyusunan naskah soal, pencetakan soal hingga lembar jawaban UN (LJUN), dan pengawasan ujian.
Dengan persiapan tersebut, Mansyur berharap sekolah dan siswa siap menghadapi UN. Dia mengimbau agar masyarakat terutama siswa tidak terpengaruh terhadap putusan MA. “Saya khawatir putusan itu bakal berpengaruh terhadap psikologis siswa. Bahayanya, jika siswa menganggap ujian itu tidak jadi dan saya khawatir mereka tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ujian tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, Anggota BSNP Prof Mungin Eddy Wibowo mengimbau agar sekolah tidak usah mengkhawatirkan soal UN. Sebab, naskah soal disesuaikan dengan kisi kurikulum 1994 maupun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dipakai sekolah. “Kita ambil sesuai SKL (standar kompetensi lulusan, red). Jadi, sesuai kurikulum sekolah,” ungkapnya.
Dalam waktu dekat ini, BSNP bakal memvalidasi soal UN dengan menggelar try out di berbagai daerah. Terutama, daerah terpencil dengan tingkat kelulusan rendah pada UN 2009. “Try out itu untuk mengetahui apakah kesulitan soal bisa dijangkau atau tidak. Kami akan rutin lakukan try out sebelum pelaksanaan UN,” terangnya.
Mungin berharap hasil UN tahun ini lebih baik seiring dengan adanya kebijakan UN ulang. Dia menjelaskan, selain UN utama, ada juga UN susulan dan ulang. Unas susulan diperuntukkan bagi siswa yang berhalangan mengikuti UN utama karena sakit atau ada kepentingan mendesak. Sedangkan, UN ulangan diadakan untuk siswa yang tidak lulus ketika UN utama maupun UN susulan. Mungin menyebut, jadwal UN juga sudah fix. Jadwal tersebut bisa dipakai acuan bagi sekolah untuk lebih mempersiapkan anak didiknya. Menanggapi kengototan pihak Depdiknas, anggota Komisi X dari FPKB Hanif Dhakiri sangat menyesalkannya. Menurut dia, jika dipaksakan, UN hanya akan menjadi beban bagi siswa dan lembaga penyelenggara pendidikan.
“Selain itu, bagi pemerintah sendiri juga berat, lantaran anggaran yang besar ternyata tidak menjamin kualifikasi lulusan,” katanya.
Hanif juga mengkritisi, salah satu alasan UN harus tetap dilaksanakan karena biayanya sudah terlanjur dianggarkan dalam APBN. “Alasan itu di luar konteks, terlalu mengada-ada, persoalan sekarang adalah adanya putusan MA,” tegasnya.
Menurut Hanif, kengototan pihak Depdiknas justru menambah rumit persoalan. Seharusnya, menurut dia, Depdiknas berkonsentrasi saja mengevaluasi UN yang ada sekarang. Kalaupun nanti sudah ada kesiapan menyelenggarakan ujian yang berkualitas, maka UN bisa dimulai lagi. “Jangan salah, jika selama ini UN diterima lembaga penyelenggara pendidikan sebenarnya lebih karena terpaksa, bukan karena urgensinya dalam proses pendidikan,” ujar sekretaris FPKB tersebut. Hanif sadar, UN pada dasarnya tetap diperlukan oleh sebuah negara karena bisa dijadikan tolak ukur bagi keluaran proses pendidikan nasional. “Tetapi prasyarat dasar harus terpenuhi dulu,” katanya. Misalnya, sarana dan prasarana pendidikan secara nasional yang memadai, distribusi dan kualitas guru yang merata, kurikulum pendidikan, dan sebagainya.
UN Bukan Satu-satunya Standar Kelulusan
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa Ujian Nasional (UN) satu-satunya penentu kelulusan siswa, padahal tidak demikian. Yang menentukan kelulusan bukan hanya UN, tapi juga penilaian ujian yang dilakukan sekolah masing-masing. Jika, nilai ujian sekolahnya rendah, bisa jadi seorang siswa tidak bisa lulus walaupun nilai Ujian Nasionalnya tinggi. “Walaupun nilai UN 10, tapi nilai ujian sekolahnya jeblok, ya tidak bisa lulus,” jelas Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh ketika jumpa pres di Hotel Mercure Mirama Surabaya kemarin.
Nuh mengatakan, yang menentukan kelulusan siswa itu ada dua hal, yaitu ujian yang dilaksanakan sekolah, dan Ujian Nasional. Menurut pria asal Surabaya itu, dulu ada seorang anak yang punya persoalan moral, walaupun nilai UN bagus anak itu tetap tidak lulus. “Nilai dari sekolah juga sangat menentukan, jadi bukan UN saja,” terang Nuh.
Ia mengatakan, kenapa ada ketakukan kepada hal tersebut, seakan-akan UN itu hanya satu-satunya yang menentukan kelulusan. Nuh mengatakan, dalam faktanya dari 90 persen anak yang tidak lulus, disebabkan karena nilai UN jemblok. “Itu fakta yang ada,” jelasnya. Namun, kata Nuh, kalau logika itu dibalik, jika yang menguji para siswa adalah gurunya sendiri, maka kemungkinan besar 99 persen siswa lulus dalam ujian. “Terus buat apa ujian itu, kalau semuanya lulus,” papar Nuh. Apalagi kalau gurunya satu kampung dengan siswanya, maka tidak mungkin guru tersebut tidak meluluskan siswa tersebut. Itulah pentingnya diadakan UN.
Mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) itu mengatakan, kualitas UN ditentukan oleh dua hal, yaitu materi UN dan penyelenggaraannya. Materi yang diujikan harus sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Bobot soal juga sesuai jenjang pendidikan siswa. Jika materi UN sudah terpenuhi, maka tinggal pelaksanaannya. Nuh mengatakan, kalau penyelenggaraannya bagus, maka kualitas UN akan terjamin, namun sebaliknya, jika pelaksanannya jeblok, kualitasnya juga akan menjadi buruk. “Apalagi gurunya sangat welas asih, maka bisa dengan mudah meluluskan muridnya, maka pelaksanaan UN juga harus bagus,” jelasnya.
Pelaksanaan UN juga tidak berkaitan antara siswa di perkotaan dan pedesaan. Ia mengatakan, perbedaan itu pasti ada di antara siswa. Tidak usah jauh-jauh antara desa dan kota, antara siswa di satu sekolah saja sudah banyak perbedaan, apalagi siswa di desa dan di kota. Untuk mengatasi masalah itu, maka pemerintah menetapkan nilai kelulusan UN, bukan 8, 7 atau 6, tapi 5,5. Itu disesuai dengan standar minimal. “Nilainya pas juga masih bisa lulus,” jelasnya.
Nuh juga merespon pihak-pihaknya yang menginginkan nilai UN hanya dijadikan sebagai pemetaan kualitas pendidikan saja. Menurutnya, jika hasil UN hanya dijadikan bahan pemetaan, maka akan terjadi konflikting data. Jika nilai UN 7, dan nilai ujian sekolah 9, maka terjadi kontraproduktif. “Terus mana yang benar,” katanya. Jadi, tidak tepat jika UN dijadikan pemetaan saja.
Mantan Direktur PENS-ITS itu mengatakan, yang paling penting sekarang adalah mengajak masyarakat untuk mendukung penyelenggaran UN. Orang tua siswa, siswa, guru harus mendukung terselenggaranya UN. “Tidak usah memperdebatkan masalah UN, jadi atau tidak karena dalam amar putusan PN Jakarta tidak ada poin yang melarang terselenggaranya UN,” ucap Nuh.
Sebelum membahas permasalahan tersebut, harus terlebih dahulu memahami duduk permasalahannya. Sebagaimana diberitakan JPNN sebelumnya, dalam salinan putusan PN Jakarta Pusat tidak ada poin yang melarang pelaksanaan UN. “Terus dari mana dasaranya orang yang mengatakan MA melarang pelaksanaan UN, apalagi saya lihat di salah satu media ditulis MA stop UN,”. Nuh mengatakan, apakah yang mengatakan seperti itu sudah membaca putusan MA.
SUMBER
Namun Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Depdiknas bersama Badan Standarisasi Nasional Pendidikan (BSNP) berkeras tetap menggelar UN. Mereka terus mematangkan ujian nasional (UN) meski putusan MA seputar kasasi penolakan ujian itu masih menimbulkan perdebatan. Bahkan, naskah soal UN sudah jadi dan tinggal dicetak.
Kepala Balitbang Depdiknas Mansyur Ramli mengatakan, putusan MA tentang UN tidak berpengaruh terhadap penyusunan naskah soal. Soal-soal tersebut sudah selesai disusun. Penyusunan naskah soal dilakukan guru, dosen perguruan tinggi (PT), dan pakar pendidikan. Setelah soal disusun, Balitbang akan menyerahkan kepada BSNP untuk diuji-cobakan.
Kemudian, soft copy soal bakal diserahkan ke perguruan tinggi untuk dicetak. “Kami sedang berkordinasi dengan majelis rektor perguruan tinggi negeri (MRPTN). Sebab, tahun ini yang menangani pencetakan hingga pendistribusian soal adalah perguruan tinggi,” terangnya, kemarin. Dengan selesainya penyusunan soal, kata Mansyuri, tidak ada alasan untuk tidak menyelenggarakan ujian tersebut.
Mansyur menjelaskan, soal UN 2010 standar dengan soal 2009. Tingkat kesulitan soal UN hampir sama dengan tahun ini. Hal itu disesuaikan dengan kemampuan siswa saat ini. Sebab, berdasarkan studi penelitian yang dilakukan Balitbang, sarana prasarana dan mutu pendidik saat ini belum mampu mendorong kemampuan peserta didik untuk menerima tingkat kesulitan soal yang lebih tinggi.
“Memang sudah ada peningkatan guru dan sarana dan prasarana, namun kami masih sesuaikan dengan kemampuan siswa,” jelasnya. Tingkat kesulitan soal bakal dinaikan untuk UN 2011. Karena itu, pihaknya berharap siswa dapat menjawab soal UN. Sebab, bobot soal telah disesuaikan dengan standar minimal pendidikan. “Artinya, soal itu bisa dijawab oleh siswa di daerah terpencil sekalipun. Ibarat lompat tinggi, kami pasang meteran. Bagi siswa sekolah unggulan, bisa lompat lebih tinggi. Demikian pula siswa sekolah biasa juga bisa melalui meteran tersebut,” paparnya.
Karena tingkat kesulitan soal sama dengan tahun lalu, Depdiknas berharap target kelulusan UN meningkat. Apalagi, standar nilai minimal rata-rata UN 2010 sama dengan tahun ini. Atau, tidak ada kenaikan. Yaitu, 5,5. Tahun lalu, tingkat kelulusan peserta didik untuk jenjang SMA mencapai 90 persen. Paling tidak, kata Mansyur, target kelulusan bisa mencapai 92 persen. Demikian pula target kelulusan untuk jenjang SMP juga dinaikkan dua persen.
Balitbang mengimbau agar seluruh provinsi segera mengirim data peserta UN ke Depdiknas. Sebab, jumlah tersebut bakal disesuaikan dengan pencetakan naskah soal. Januari 2010, jumlah pasti peserta UN harus selesai. Dia menambahkan, anggaran penyelenggaraan UN juga sudah disiapkan. Menurutnya, anggaran UN 2010 tidak jauh beda dengan tahun ini. Yaitu, sekitar Rp500 miliar. Anggaran sebesar itu untuk UN (SMP dan SMA) dan ujian akhir sekolah berstandar nasional (UASBN). Biaya itu akan digunakan untuk persiapan ujian, penyusunan naskah soal, pencetakan soal hingga lembar jawaban UN (LJUN), dan pengawasan ujian.
Dengan persiapan tersebut, Mansyur berharap sekolah dan siswa siap menghadapi UN. Dia mengimbau agar masyarakat terutama siswa tidak terpengaruh terhadap putusan MA. “Saya khawatir putusan itu bakal berpengaruh terhadap psikologis siswa. Bahayanya, jika siswa menganggap ujian itu tidak jadi dan saya khawatir mereka tidak mempersiapkan diri dengan baik untuk menghadapi ujian tersebut,” jelasnya.
Sementara itu, Anggota BSNP Prof Mungin Eddy Wibowo mengimbau agar sekolah tidak usah mengkhawatirkan soal UN. Sebab, naskah soal disesuaikan dengan kisi kurikulum 1994 maupun kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) yang dipakai sekolah. “Kita ambil sesuai SKL (standar kompetensi lulusan, red). Jadi, sesuai kurikulum sekolah,” ungkapnya.
Dalam waktu dekat ini, BSNP bakal memvalidasi soal UN dengan menggelar try out di berbagai daerah. Terutama, daerah terpencil dengan tingkat kelulusan rendah pada UN 2009. “Try out itu untuk mengetahui apakah kesulitan soal bisa dijangkau atau tidak. Kami akan rutin lakukan try out sebelum pelaksanaan UN,” terangnya.
Mungin berharap hasil UN tahun ini lebih baik seiring dengan adanya kebijakan UN ulang. Dia menjelaskan, selain UN utama, ada juga UN susulan dan ulang. Unas susulan diperuntukkan bagi siswa yang berhalangan mengikuti UN utama karena sakit atau ada kepentingan mendesak. Sedangkan, UN ulangan diadakan untuk siswa yang tidak lulus ketika UN utama maupun UN susulan. Mungin menyebut, jadwal UN juga sudah fix. Jadwal tersebut bisa dipakai acuan bagi sekolah untuk lebih mempersiapkan anak didiknya. Menanggapi kengototan pihak Depdiknas, anggota Komisi X dari FPKB Hanif Dhakiri sangat menyesalkannya. Menurut dia, jika dipaksakan, UN hanya akan menjadi beban bagi siswa dan lembaga penyelenggara pendidikan.
“Selain itu, bagi pemerintah sendiri juga berat, lantaran anggaran yang besar ternyata tidak menjamin kualifikasi lulusan,” katanya.
Hanif juga mengkritisi, salah satu alasan UN harus tetap dilaksanakan karena biayanya sudah terlanjur dianggarkan dalam APBN. “Alasan itu di luar konteks, terlalu mengada-ada, persoalan sekarang adalah adanya putusan MA,” tegasnya.
Menurut Hanif, kengototan pihak Depdiknas justru menambah rumit persoalan. Seharusnya, menurut dia, Depdiknas berkonsentrasi saja mengevaluasi UN yang ada sekarang. Kalaupun nanti sudah ada kesiapan menyelenggarakan ujian yang berkualitas, maka UN bisa dimulai lagi. “Jangan salah, jika selama ini UN diterima lembaga penyelenggara pendidikan sebenarnya lebih karena terpaksa, bukan karena urgensinya dalam proses pendidikan,” ujar sekretaris FPKB tersebut. Hanif sadar, UN pada dasarnya tetap diperlukan oleh sebuah negara karena bisa dijadikan tolak ukur bagi keluaran proses pendidikan nasional. “Tetapi prasyarat dasar harus terpenuhi dulu,” katanya. Misalnya, sarana dan prasarana pendidikan secara nasional yang memadai, distribusi dan kualitas guru yang merata, kurikulum pendidikan, dan sebagainya.
UN Bukan Satu-satunya Standar Kelulusan
Banyak masyarakat yang beranggapan bahwa Ujian Nasional (UN) satu-satunya penentu kelulusan siswa, padahal tidak demikian. Yang menentukan kelulusan bukan hanya UN, tapi juga penilaian ujian yang dilakukan sekolah masing-masing. Jika, nilai ujian sekolahnya rendah, bisa jadi seorang siswa tidak bisa lulus walaupun nilai Ujian Nasionalnya tinggi. “Walaupun nilai UN 10, tapi nilai ujian sekolahnya jeblok, ya tidak bisa lulus,” jelas Menteri Pendidikan Nasional Mohammad Nuh ketika jumpa pres di Hotel Mercure Mirama Surabaya kemarin.
Nuh mengatakan, yang menentukan kelulusan siswa itu ada dua hal, yaitu ujian yang dilaksanakan sekolah, dan Ujian Nasional. Menurut pria asal Surabaya itu, dulu ada seorang anak yang punya persoalan moral, walaupun nilai UN bagus anak itu tetap tidak lulus. “Nilai dari sekolah juga sangat menentukan, jadi bukan UN saja,” terang Nuh.
Ia mengatakan, kenapa ada ketakukan kepada hal tersebut, seakan-akan UN itu hanya satu-satunya yang menentukan kelulusan. Nuh mengatakan, dalam faktanya dari 90 persen anak yang tidak lulus, disebabkan karena nilai UN jemblok. “Itu fakta yang ada,” jelasnya. Namun, kata Nuh, kalau logika itu dibalik, jika yang menguji para siswa adalah gurunya sendiri, maka kemungkinan besar 99 persen siswa lulus dalam ujian. “Terus buat apa ujian itu, kalau semuanya lulus,” papar Nuh. Apalagi kalau gurunya satu kampung dengan siswanya, maka tidak mungkin guru tersebut tidak meluluskan siswa tersebut. Itulah pentingnya diadakan UN.
Mantan Rektor Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) itu mengatakan, kualitas UN ditentukan oleh dua hal, yaitu materi UN dan penyelenggaraannya. Materi yang diujikan harus sesuai dengan mata pelajaran yang diajarkan. Bobot soal juga sesuai jenjang pendidikan siswa. Jika materi UN sudah terpenuhi, maka tinggal pelaksanaannya. Nuh mengatakan, kalau penyelenggaraannya bagus, maka kualitas UN akan terjamin, namun sebaliknya, jika pelaksanannya jeblok, kualitasnya juga akan menjadi buruk. “Apalagi gurunya sangat welas asih, maka bisa dengan mudah meluluskan muridnya, maka pelaksanaan UN juga harus bagus,” jelasnya.
Pelaksanaan UN juga tidak berkaitan antara siswa di perkotaan dan pedesaan. Ia mengatakan, perbedaan itu pasti ada di antara siswa. Tidak usah jauh-jauh antara desa dan kota, antara siswa di satu sekolah saja sudah banyak perbedaan, apalagi siswa di desa dan di kota. Untuk mengatasi masalah itu, maka pemerintah menetapkan nilai kelulusan UN, bukan 8, 7 atau 6, tapi 5,5. Itu disesuai dengan standar minimal. “Nilainya pas juga masih bisa lulus,” jelasnya.
Nuh juga merespon pihak-pihaknya yang menginginkan nilai UN hanya dijadikan sebagai pemetaan kualitas pendidikan saja. Menurutnya, jika hasil UN hanya dijadikan bahan pemetaan, maka akan terjadi konflikting data. Jika nilai UN 7, dan nilai ujian sekolah 9, maka terjadi kontraproduktif. “Terus mana yang benar,” katanya. Jadi, tidak tepat jika UN dijadikan pemetaan saja.
Mantan Direktur PENS-ITS itu mengatakan, yang paling penting sekarang adalah mengajak masyarakat untuk mendukung penyelenggaran UN. Orang tua siswa, siswa, guru harus mendukung terselenggaranya UN. “Tidak usah memperdebatkan masalah UN, jadi atau tidak karena dalam amar putusan PN Jakarta tidak ada poin yang melarang terselenggaranya UN,” ucap Nuh.
Sebelum membahas permasalahan tersebut, harus terlebih dahulu memahami duduk permasalahannya. Sebagaimana diberitakan JPNN sebelumnya, dalam salinan putusan PN Jakarta Pusat tidak ada poin yang melarang pelaksanaan UN. “Terus dari mana dasaranya orang yang mengatakan MA melarang pelaksanaan UN, apalagi saya lihat di salah satu media ditulis MA stop UN,”. Nuh mengatakan, apakah yang mengatakan seperti itu sudah membaca putusan MA.
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar